Jumat, 17 Agustus 2018

Siklus Perubahan ‘Jalur Utama’ skena lokal yang berputar



Hijrah, sebuah istilah yang relatif sebenarnya. Namun ‘arus utama’ menciptakan makna ‘hijrah’ adalah berubah lebih saleh dan agamis, dan memaknai aktivitas atau profesi sebelumnya itu tidak baik, kemudian sekarang sudah lebih baik dengan simbolik pada hal-hal yang terkesan alim. 
 
Dilihat dari terminologinya, dalam konteks sejarah, ‘Hijrah’ merupakan sebuah perpindahan/migrasi dari Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya dari Mekkah ke Madinah pada tahun 622 Masehi dengan tujuan penegakkan nilai-nilai syariat Islam sesuai konteks situasi dan kondisi pada masa itu. Jika disangkut-pautkan ke sebuah paham, hijrah diartikan perubahan dari kondisi meninggalkan yang buruk dan menuju kebaikan secara agamis (dalam hal ini Islami).

Namun, istilah Hijrah saat ini trendi dengan simboliknya saja. Hingga kritikus Islam Moderat merespon terhadap fenomena hijrah ini adalah, Hijrah merupakan tujuan marketing saja untuk mencapai target market kelompok tertentu yang harus memenuhi syarat-nya dengan mewajibkan menjunjung nilai-nilai 'Islami', tetapi ditambah merunut ke paham kelompok itu tadi tanpa memandang perubahan zaman, tetapi tidak mau melihat situasi dan kondisi lingkungan dan budaya sekitar, hingga akhirnya timbul pakem untuk larangan beraktivitas terhadap yang tidak sesuai paham kelompoknya dengan mengklaim kelompoknya adalah sebuah representasi total dari ajaran Islam. Termasuk harus anti aktivitas yang berasal dari budaya luar (barat) atau penolakan terhadap nilai-nilai yang tidak berasal dari daerah tertentu, dalam hal ini dari asal daerah turunnya agama Islam, hingga jaminan surga buat yang mengikuti dan penghakiman atau vonis neraka untuk yang tidak mengikuti. Ujung-ujungnya memang sebuah doktrin 'anti budaya selain kelompok berpaham tersebut'. Mungkin sebelum terlalu jauh, mari kita saling renungkan saja.

Hijrah memang menyasar banyak anak muda dan tokoh yang mempunyai massa dari kalangan muda. Hijrah membawa hal positif dan yang tidak hijrah dengan cara mereka itu kadang dinilai menjadi sesuatu yang  negatif atau buruk.

Tidak ada yang salah sebenarnya dengan fenomena hijrah jika memang prosesnya adalah titik balik, perubahan dari negatif menjadi positif. Namun seiring dengan berjalannya waktu menjadi pergesekan, dimana kesan lebih baik yang ‘hijrah’ daripada yang belum ‘hijrah’ menjadi pertanyaan besar dan menjadi diskursus. Sejatinya, setiap manusia memiliki makna hijrahnya sendiri. Tidak harus dengan simbol agama atau kealiman. Namun makna ini seperti digiring sehingga menjadi patron bahwa; hijrah adalah sebuah atau satu-satunya siklus dimana yang melakukan dengan syarat-syarat penilaian dari paham kelompok tersebut menjadi pakem bahwa yang terlihat mendalami agama itu lebih baik daripada yang tidak. Contohnya, yang belum rajin mengaji belum baik, yang masih main musik belum baik, maka bertobatlah. Ditambah lagi dengan doktrin bahwa ‘musik itu haram’ dari beberapa kalangan. Hingga gelombang ‘Musisi tobat’ cukup menjamur. Nah, ini menjadi distorsi makna sebenarnya. Yakinkah ‘musisi-tobat’ itu sudah lebih baik dari yang belum atau tidak tergabung dengan ‘musisi-tobat’?

Jika proses sebuah hal negatif menjadi positif, gambarannya hingga pembangunan konsep suatu kultur (diskursus) ini sebenarnya sudah ada sejak lama, yaitu sebuah Titik balik atau katakanlah proses yang disebut 'Taubat', bukan 'Hijrah'. Tolak ukurnya cukup menjadi diri sendiri, tidak perlu menghakimi orang lain yang tidak sejalan dengannya. Tidak perlu mengklaim 'hijrah dari eks-musisi atau eks-profesi' apapun. Apalagi kadang disejajarkan dengan 'eks-preman' atau 'eks-berandalan'. Karena profesi seseorang tidak bisa dinilai pribadinya dari simbol aktivitasnya, terutama aktivitas yang disebut Hijrah akhir-akhir ini dengan lekatnya simbol aktivitas mendalami agama, hingga penghakiman yang tidak sejalan dengan aktivitas dakwah ala hijrah itu sendiri sering disebut salah, yang seringkali juga harus diperangi. 

Saya rasa tidak seperti itu. Sangatlah keliru jika sebuah profesi dihakimi dengan dikatakan : karena aktivitasnya dulu (sebelum hijrah) sering lalai melaksanakan kewajiban agamanya. Seperti beberapa pengakuan 'eks-musisi' atau 'musisi tobat' yang kini ‘hijrah’ mengatakan ; "selama dia main musik sering melalaikan kewajiban dan melupakan perintah agama", disamping juga dicekoki dalil-dalil yang memperkuat penghakiman mereka tanpa ditelaah lebih dalam secara kontekstual dibanding hanya sebatas tekstual, yang kadang disambung-sambungin atau dicocok-cocokin. 

Sejatinya, yang menyebabkan lalai bukan karena musik atau profesinya, tetapi karena diri pribadinya yang malas atau memang lalai. Jangan salahkan musiknya, tapi pribadinya. Jangan terjebak gelombang arus utama atau penghakiman masyarakat yang merasa ‘normal’ yang kadang belum memahami lebih dalam. Hargailah sebuah profesi apapun selama tidak merugikan orang banyak dan selama tidak merusak tata-kelola ekosistem. Bedakanlah profesi secara bijak dengan cerminan pribadinya. Semua orang bisa melakukan hijrahnya sendiri-sendiri tanpa perlu penghakiman terhadap yang tidak sejalan. Cukup hubungan antara pribadi manusia itu secara vertikal langsung kepada Tuhan yang lebih tahu mana yang baik dan tidak. Hijrah-lah tanpa menghakimi yang lain. Jika memang niatnya menyadarkan atau berbagi ilmu akhirat, berbagilah dengan tulus dengan teguh, sabar, dan tegar seperti halnya pribadi Nabi dalam berdakwah, tanpa pamrih tanpa paksaan, berbaik sangka dan tidak menghakimi secara hitam-putih tanpa telaah.

Kadang orang baik tidak selalu memakai 'putih'. Kadang orang baik juga memakai 'hitam'. Hari gini masih lihat sampul untuk menilai seseorang? siapa yang bisa baca isi hati orang lain? Mengutip istilah teman saya dari Depok, "membaca isi hati gebetanmu aja susah, apalagi melihat kadar keimanan seseorang?" :) Tulisan ini tidak memaksakan kalau pembaca harus setuju dengan pendapat saya, hanya merefleksikan kondisi sekitar saja yang faktanya ada kelompok-kelompok tertentu yang memang menjadi 'hakim' setelah bergabung dengan kelompok hijrahnya.
(Bersambung)

Review Pertengahan tahun 2018




LEFTYFISH – Hello Kittie’s Spank (Elephant Tatsumaki Recs, 2018)

Serangan kebisingan matematis ini langsung menggiurkan banyak orang ketika sudah di promosikan di media sosial sebelum hari H perilisan album oleh gitaris sekaligus pemilik label produksi pertama full album ini. Sebelumnya sekitar 2 tahun yang lalu E.P mereka, ‘You Fish!’ Dirilis oleh Hitam Kelam Recs dan dirilis versi kaset juga oleh Tarung Recs sudah mengenalkan skena lokal dengan keunikan musikalitasnya. Ya, saya juga termasuk yang kegirangan dengan berita ini dan langsung saya order album penuh ini langsung ke si empunya label itu, mas Halim Budiono. Serangan yang mendobrak batas, persilangan mathcore dengan grinding part, noise rock dan jazzy element. Sungguh kaya dan artistik yang cukup ekstrim ke telinga namun bikin nagih sambil menanti kejutan-kejutan pada track demi track berikutnya. Kental dengan pengaruh Jap-noise seperti Melt Banana, suguhan mathcore New York ala Friendly Bears dengan senjata pada alat tiup (brass section) nya dan kombinasi aransemen yang menghentakan telinga awam hingga meleleh seperti juice pisang. Artwork menarik, hingga kemasan yang sangat ‘niat’ hingga ada bonus gambar hologram Hello Kittie berdarah-nya. Album pendobrak di awal tahun 2018 dan seterusnya, sangat ditunggu terus karya berikutnya.


MOCCA – Lima (Lucky Me Music, 2018)

Pertama mendengar lagu MOCCA di album ini, sungguh ada sesuatu yang berbeda. Biasanya, track pertama langsung ‘nyangkut di kuping’ seperti semua album Mocca yang pernah saya dengar. Ini belum langsung ‘nyangkut’ lho. Sejujurnya, ada apa ya? Pendewasaan dan kebijaksanaan, penyesuaian dengan pendekatan bahasa (Indonesia) dan lebih personal. Cukup menyentuh sejak start dari lagu pertama, namun diimbangi dengan pencerahan sebuah tembang ‘Teman sejati’ yang introspektif pada kondisi kita sehari-hari dalam perjalanan hidup dengan lika-liku persahabatan. Cek music video-nya yang sinematis dan penuh pesan menarik. Nah, dengan rasa bersyukur di track ketiga langsung nyangkut di kuping, juga diberi rasa gembira di track 3 ini karena seperti biasa, ciri khas Mocca dengan kompleksitas aransemen-nya yang berjudul ‘Tanda Tanya’ dengan irama kental swing jazz dan tempo yang dinaiki hingga mendekati irama bebop sudah memikat telinga saya. Titik senja datang ketika memasuki track 6, 7 dan di track 8 yang sebenarnya merupakan titik balik dan perasaan semangat menjalani aktivitas selanjutnya, namun lantunan piano-nya membuat saya ikut merasakan sebuah perjalanan yang dihampiri oleh elegi, begitu menyentuh dan berakhir dengan pencerahan disertai senyuman rasa syukur. Ketika telah 3-4 kali putar album ini, akhirnya sudah bisa ‘nyangkut di kuping’ terus kok. Mungkin itulah yang harus kita jajaki untuk menikmati album ini. Itulah gambaran yang saya rasakan. Mocca masih meraup predikat band indie-pop dengan sentuhan jazz dan retro-pop terdepan di tanah air, bahkan Asia.


BURGERKILL – Adamantine (BKHC, 2018)

Pencerahan kembali terjadi pada BURGERKILL. Sebuah siklus pemberontakan diri ke arah yang lebih ‘terang’ pada album ke 5 ini. Tetap rumit, aransemen yang gagah dan nendang pantat. Beberapa elemen progressive metal, terutama Djent dan disonansi nada menghiasi beberapa lagu di album ‘Adamantine’ ini. Apalagi track terakhir sangat nge-rock dengan sebuah re-aransemen cover song dari tembang milik Iwan Fals, ‘Air Mata Api’. sekilas malah menjadi mirip Godbless yang sedang jamming bareng Iwan Fals dengan crowd dari penggemar A7X yang memenuhi big stage. Untuk artwork album juga lebih menarik, pencerahan pada dominasi warna yang selama ini sering dengan warna hitam, cokelat dan warna-warna senja akhirnya sekarang dihiasi warna merah dan putih, dengan fokus pada detail beruang dilengkapi cakar adamantium yang menonjol.


THE KUDA / VAGUE – Split CD (Royal Yawns, 2018)

Rilisan split yang cerah dan segar, sayangnya hanya dengan durasi yang cukup singkat. Dimulai oleh VAGUE, kali ini mereka menjadi tambah bernyanyi daripada meraung. Simple dan juga lebih dewasa. Sentuhan Punk dalam kombinasinya, crunchy riff 80-an dengan singkup yang variatif. Masih emotif, apalagi tema dan liriknya memang dari ‘hati’. THE KUDA emang tetap (tambah) gila. Mesin waktu yang menyedot kita ke era 70an akhir dengan penuh amarah dan kegamangan hati bercampur dalam teriakan serapahnya. Ditambah track terakhir yang dipadu dengan puisi tentang ‘Perang’ yang tiada akhir maupun tiada guna oleh Mufti Amenk yang kebetulan juga sebagai artworker sampul dan pengisi konten pada lembar buklet CD ini.


KEKAL – Beyond The Glimpse Of Dreams (Re-issued) (Persetan Recs, 2014)

Indonesia punya KEKAL yang aransemen black metal-nya sudah sangat terdepan di masanya. Lebih maju dari zamannya, hingga akhirnya sekarang menjadi band avantgarde-metal yang progresif pula. Inilah harta karun skena lokal sebenarnya, pertengahan 90-an di skena lokal sudah seperti ini. Ini juga sebuah album re-issued dari tahun asli keluarnya di 1998 yang wajib dimiliki kolektor, apalagi blackmetalers, walaupun temanya memang positif dan ke arah kebaikan, mendobrak nilai-nilai satanisme pada genre black metal tipikal yang sudah di hakimi oleh media karena aksi ekstrim dan anti-agamanya. Terlihat dan terasa dari judul-judul maupun lirik lagunya. Kekal juga band pionir black metal di Indonesia dengan imej yang berbeda, yaitu membawa tema nilai-nilai kristiani yang eklektik, sekilas stereotip dengan Norway black metal, tapi ada unsur eksperimentasinya yang sudah terasa untuk mengeksplorasi unsur-unsur lain di dalamnya dari referensi sang komposer. Band ini juga merupakan band dari skena lokal yang menjadi pionir/pertama melakukan rangkaian tur Eropa (sekitar awal tahun 2000an, bisa di cek tur mereka di Youtube ketika tampil di Eropa Barat & Utara) namun sayang, mereka seperti kurang diberitakan oleh media atau memang media kurang tahu mereka. Tidak dapat dipungkiri juga kalau mereka sudah lebih awal melek digital dan mengabaikan kenormalan sebuah formasi band dengan memanfaatkan teknologi pada live show-nya.