Minggu, 24 Januari 2016

2016, titik balik serta retrospeksi satu hingga dua dekade ke belakang




Sekarang sudah 2016, tak terasa sudah. Hampir satu bulan di awal tahun sudah berjalan. Perubahan demi perubahan mewarnai hidup. Teman-teman satu visi, satu tongkrongan hingga kebiasaan saya sudah banyak berubah. Yang dekat menjadi jauh, yang jauh menjadi dekat. Efek samping, lebih tepatnya ketimpangan era teknologi informasi. Aktivitas serta ruang berkarya makin sempit. Terlalu sibuk dengan rutinitas pekerjaan formal yang statis dan monoton, dan hiburan yang kurang terasa untuk dinikmati. Ah, sudahlah terima saja, memang harus seperti ini kok jalannya. 

Apalagi sejak pertengahan tahun 2015 lalu saya sudah kembali ke ibukota negara, metropolitan yang semrawut, arogan dan kurang manusiawi. Sebelum kembali ke ibukota sebenarnya saya sudah cukup terbiasa hidup dengan lebih tenang di kota yang tidak padat, lebih teratur dan manusiawi. Bisa menikmati udara pagi yang segar, bersepeda keliling kota dengan ditemani alunan nada melalui headset dan file-file audio dalam hand/smartphone, melewati banyak hutan dan pantai. Walau semburan api dari flare kilang minyak terbesar tetap menyembur dan polusi udara pembakaran pabrik salah satu industri semen terbesar di negeri ini tetap mengepulkan asapnya. Walau polusi udara tetap ada, namun untungnya masih banyak zona hijau yang dipertahankan, hutan kota yang tertata, sawah yang luas serta tidak terlalu banyak kendaraan bermotor lalu lalang dan klakson yang out of tunes. 

Suasana pantai Teluk Penyu pagi hari (atas) dan Hutan Kota Jl. Thamrin Cilacap (bawah)

Saya menikmatinya. Ya, hidup di kota kecil dengan suasana masih seperti di pedesaan atau masih dikelilingi banyak desa, hutan, rawa-rawa, dataran tinggi serta dekat dengan pantai. Sayang, itu hanya temporer. Saya hanya menjalankan tugas duniawi disana. Dan setelah tugas selesai, harus pergi lagi. Setelah itu memang ada beberapa tawaran pekerjaan baru di kota Gresik dan Jakarta. kebetulan setelah negosiasi dengan pekerjaan baru dan dengan berbagai pertimbangan yang cukup berat, akhirnya saya pilih kembali ke Jakarta. Tetapi ya itu tadi, Kenangan 2 tahun saya tinggal di kota Cilacap dengan ‘keteraturan’ dan ‘kedamaian’ masyarakatnya, ketika pertama kali bekerja lagi di Jakarta yang kusut dan semrawut, sempat juga kaget atau shock dengan kondisi tersebut, karena malah seperti tambah crowded dan unsafe. Ah, akhirnya waktu demi waktu saya menyesuaikan juga kondisi seperti ini.


CONTROL UNDER MISDEED (2005-2007)

Sekarang masih Januari 2016. Postingan terakhir untuk NEWBORNFIRE ZINE juga tepat di Januari tahun lalu, 2015. Setahun posting baru di update setahun kemudian. Media macam apa ini? Hahaa.. ya, suka-suka yang punya media aja lah. Sepuluh tahun lalu juga, 2006 band saya membuat demo live dengan CONTROL UNDER MISDEED atau C.U.M atau CRUMS. Melakukan recording dengan fun, ngeben untuk senang-senang dan tanpa beban. Play fast die old... style yang mungkin agak berbeda dengan band-band lain di era tersebut, durasi cepat tapi bukan fast/thrashcore, metallic sound tapi bukan metalcore, vokal growl serta drum ngebut tapi bukan grindcore, juga ada beberapa gang vocal tapi bukan youthcrew juga. kurang banyak diminati lah..hehee. Ya, orang-orang di band ini 4 dari 5 personilnya masih cukup aktif kok di skena musik independen di Jakarta & Depok. Drummer CRUMS, Agus masih main di WHAT WE THINK dan terakhir membuat SLUTGUTS. Second guitar kami, Sacha juga masih main di LOOSERZ dan sekarang kabarnya membantu DEAD VERTICAL juga pada stage crew. Vokalis kami, Rudi Giant saat ini menjadi vokalis di band death metal papan atas, SIKSAKUBUR. Di  C.U.M atau CRUMS, Ini adalah kali kedua saya recording dan mendokumentasikannya dalam bentuk demo CD. Namun apa daya, umurnya tidak secepat tempo drum-nya.


Sebelumnya saya pernah melakukan take recording yang lebih serius, karena pertama kali masuk studio rekaman dengan band saya ketika masih kuliah di Bandung, tahun 2003 dengan home base di skena hardcore kota Cimahi, ROTTENCHEESEBURGER. Band tersebut hanya berusia pendek juga walau sempat ikut beberapa kompilasi, salah satunya dari UNDYING MUSIC bareng band-band papan atas dari berbagai kota seperti  FALL, HANDS UPON SALVATION, DOWN FOR LIFE, DEVADATA, NOXA, dan banyak lagi. Sayapun kehilangan kontak dengan para ex-member band ini dan memang tidak ada yang aktif lagi di skena musik setelah sibuk dengan pekerjaan dan berumah tangga. Pertama kali memainkan style yang lebih berat, latihan yang lebih serius dan konsentrasi ya disini, di ROTTENCHEESEBURGER. Terdengar berbau atau terinspirasi BURGERKILL? Haha.. Ya ! Mungkin, gitaris pertama kami yang memberi nama itu dan katanya terdengar sangat ‘hardcore’. Kebetulan memang kami semua waktu itu juga penggemar BURGERKILL serta pernah menyukai band HC lawas juga dari Bandung bernama HELLBURGER. Saya memang personil baru di band tersebut untuk mengisi kekosongan pemain bass, dan berhasil membuat lagu terpanjang sekitar 9 menit untuk pertama kalinya dengan sentuhan metallic hardcore 90an dari STRIFE, EARTH CRISIS hingga yang paling membekas adalah dari band-band Goodlife recordings. 

THE DOGS DAY (2000-2002)

Selain dengan band-band tersebut, sebenarnya saya juga punya band lagi di kampus saya dulu. Memainkan melodic punk rock ala BAD RELIGION, NOFX, STRUNG OUT hingga pengaruh dari band-band street punk/Oi! Seperti THE BUSINESS & BLITZ. Salah satu personilnya yang hingga saat ini masih cukup aktif di skena musik independen Bandung adalah Helmi Akbar, yang sekarang menjadi vokalis band ska/2-tone FLOWER CITY ROLLIN’. Teman-teman lainnya sudah jauh dari ‘dunia’ musik.
Ya, sekarang masih bulan Januari 2016. Mungkin 20 tahun lalu tepatnya yaitu 1996 saya pertama kali mendatangi gig ‘Underground’ di Jakarta. Tepatnya di Poster cafe, venue yang sangat bersejarah untuk skena musik independen Jakarta. Saya agak malas menyebut musik tersebut dengan kata ‘underground’ ataupun ‘indie’. Underground di Indonesia juga gak begitu bawah tanah kok pada prakteknya. Apalagi, beberapa masyarakat yang juga terpelajar masih menganggap musik underground itu musik yang berbau ‘setan’ atau yang gerowok-gerowok suaranya. Padahal musik akustik atau pop juga bisa masuk kategori underground kalau memang prakteknya dengan cara ‘bawah’ dan jauh dari arus utama. Beda lagi dengan istilah indie buat sebagian orang, indie malah dipahami sebagai tren musik baru setelah alternatif redup, yang akhirnya terkomodifikasi di event besar bersponsor besar, yang mungkin juga mengecoh beberapa individu/band yang ingin diorbitkan (baca : ingin terkenal) tapi dengan aransemen, tema, sikap dan cara yang biasa dipakai band-band di jalur utama dan berbudaya populer.  Untungnya saat ini istilah yang ‘mendadak indie’ sudah tidak terlalu bergema di jalur media utama, dan band-band sudah lebih fokus bekarya dengan total tanpa terpengaruh istilah indie atau bukan, karena band bagus tetaplah bagus, aransemen musik keren tetaplah keren. Abaikan label ataupun genre, terlebih karyanya memang fresh dan belum terpikirkan oleh orang atau band lain pasti akan terus bertahan. Karena memang sekarang lebih tepat menghasilkan karya kreatif dahulu, baru keluarlah label atau genre tersebut. Ya, memang lebih baik seperti itu, era informatika akan setahap demi setahap akan pudar. Era kreatifisme akan menyambut. 

Bila era IT rilisan fisik minim atau kurang diminati. Sudah saatnya memutar otak membuat rilisan fisik dengan mempercantik kemasan atau membuat ide sekreatif mungkin, sehingga kalau tidak ada rilisan fisiknya (hanya mengunduh e-file saja) akan sangat kurang memuaskan. Rilisan fisik memang harus dibuat sedemikian rupa untuk dinikmati dan enak dipandang atau membanggakan jika ditaruh di rak koleksi. Sudah banyak kok contoh band yang membuat rilisan fisik dapat dinikmati kemasannya. Diantaranya, sebut saja MOCCA dengan kemasan album yang selalu tematik tiap merilis album, dan paling berkesan buat saya adalah ketika album Colours. SERINGAI dengan skull artwork yang selalu epik, VAGUE yang dramatis, TO DIE yang mungkin sudah tidak terhitung lagi konsep kemasan maupun artworknya di banyak albumnya, serta masih banyak band lainnya yang memang tidak sembarangan kreatifnya dalam membuat kemasan. Oh ya, kemasan sampul kaset pertama yang saya pernah beli dan saya suka idenya adalah CLOSEMINDED. Saya beli di sekitar tahun 1997 di Bandung, sayang band ini hanya mengeluarkan satu album dan sebentar sekali kariernya. Entahlah, karya yang esensial itu seringnya hanya berusia pendek.

Kembali flashback lagi sedikit di tahun 1996, dimana saya menjadi pemula dalam ‘skena independen’, sebagai penikmat tahap awal mengenal musik keras saya cukup antusias dengan skena tersebut. Band metal cadas lokal yang pertama saya lihat waktu itu adalah DEMONIAC, disusul MALIGNANT, ALIEN SCREAM, TENGKORAK, BETRAYER hingga TRAUMA. Musik-musik tersebut sebenarnya tidaklah asing buat saya waktu itu, hanya baru lihat live-nya ya pada tahun 96 tersebut. Sebenarnya saya sudah kenal heavy metal hingga variannya sejak kelas 6 SD hingga awal SMP. Era SEPULTURA dan METALLICA live di Indonesia-pun saya sudah menikmatinya, namun belum berani atau belum diizinkan orangtua untuk menonton secara live mereka. 

Hingga di umur sekitar 15 tahun, kelas 1 SMA saya dikenalkan banyak rilisan album-album metal, banyaknya adalah death metal oleh teman sepermainan sejak kecil saya, Deni Muchdor. Deni pernah menjadi gitaris unit death metal Jakarta, TRAUMA dan mengisi beberapa band penting lainnya. Deni-pun mengenal metal dari sepupunya, Ovi yang juga pernah menjadi drummer band HC lawas Jakarta DIRTY EDGE. Tak hanya metal, walau pada pertengahan tahun 90an para fans metal lokal tidak menyukai genre lain, apalagi dengan punk cukup sering berselisih. Namun, saya tidak peduli, sayapun menyukai band-band punk. Memang tidak awam juga dengan punk, karena era MTV awal tayang di Indonesia saya mengenal alternative, grunge sampai pop-punk ya dari MTV. GREEN DAY  memang yang pertama saya kenal dan suka, disusul RANCID dan akhirnya tertarik mendalami akarnya dengan meminjam rekaman-rekaman musik di akhir tahun 70an milik paman saya, yaitu SEX PISTOLS, THE CLASH, THE DAMNED hingga RAMONES. Gak sangka juga, paman saya mengoleksi foto-foto band punk generasi awal dari majalah-majalah yang ia gunting dan tempel pada era kejayaannya.

Perselisihan tak jelas antara penyuka metal dan punk di Jakarta khususnya, pada waktu itu tidak membuat saya membenci satu sama lain musik yang berbeda genre. Tak peduli teman-teman saya yang metal ketika itu membenci band serta massa punk, begitupun sebaliknya. Berawal dari poser, borok, atau apa lah namaya. Poseur atau poser, sesuatu tahap yang memang manusiawi. Poser merupakan fase yang dilalui setiap orang sebelum tahu akhirnya menjadi tahu. Makanya, jangan berlebihan membenci poser! Memang kenyataannya, poser itu menyebalkan ketika kita sudah melewati fase atau tahap tersebut. Tetapi, kita yang sudah melewati harusnya tidak menjadi belagu atau tinggi hati. Ya, sebaiknya membantu memberi informasi ataupun mengedukasi, bukan mem-bully atau meledeknya. Saya jadi ingat, beberapa orang yang pernah sok senior dan berlebihan mengejek atau mem-bully orang yang baru tahu (pemula), bahkan suka meledek poser, sekarang benar-benar sudah menghilang atau bahkan ada yang berbalik membenci musik. Pilihan hidup memang bagian dari takdir, dan takdir memang tidak bisa ditebak. Hanya saja yang dulu berlebihan ‘militan’ terkadang malah lebih dahulu ‘tumbang’.

Begitupun orang yang pertama kali membuat saya suka 'punk' lebih dari sekedar musik itu, teman SMA saya sekarang menjadi orang yang anti-musik atau mengharamkan musik. Memang gejala ini sudah saya rasakan ketika lulus SMA. Teman saya ini yang pertama kali mengenalkan saya BAD RELIGION, sebuah karya punk yang ilmiah dan intelek yang tetap saya suka hingga saat ini. Tadinya saya pikir akan seperti musik-musik pop-punk mainstream biasa di era GREEN DAY, tetapi band ini sangat lebih dari itu. Sangat membuat saya semangat hidup, semangat belajar kala ketika menghadapi ujian dan cepat membuat saya move-on ketika ada kekecewaan masalah hati pada masa remaja tersebut. Tidak tanggung-tanggung memang, teman saya yang mengenalkan saya dengan banyak band dan rilisan album-album punk keren, juga sikap ‘punk’-nya semasa sekolah serta penjiwaan lirik-lirik lagu punk yang ia suka, beberapa tahun kemudian malah terlibat jaringan ekstrimis radikal dan sempat berurusan dengan hukum setelah saya tinggal dan kuliah di Bandung. Ah, sialan, sayang sekali. Sangat kecewa saya kepadanya. Kadang sebagai teman baik memang tidak selamanya harus cocok dengan jalan pikirannya, kadang harus merelakan pilihan masing-masing. Begitupun pilihan saya. Ketika beberapa tahun kemudian saya bertemu lagi dengan teman saya yang dulu sangat nge-punk akhirnya terlibat hukum dan menjadi anggota ekstrimis berbau agama, surprise lah kami. Dia tahu kalau saya tetap menikmati musik, bahkan saya main di band dan dia tidak melarang atau menceramahi saya. Ya, saya tahu waktu terakhir kali saya ketemu dia sebelum terlibat jaringan ekstrimis dia memang sudah pernah bilang, “musik itu haram”, “alat musik aja yang menciptakan orang dari agama lain” dengan berbagai alasan yang terlalu dipaksakan dan asal mencomot dalil yang dihubung-hubungkan, tapi sampai sekarang saya merasa tidak ada masalah dengan itu. 

Ya sudah lah, siklus ini terjadi baru-baru ini tetapi dengan skala yang lebih luas lagi. lebih 'nasional' sepertinya. 2-3 tahun lalu terjadi di skena musik lokal kita, yaitu pengharaman musik, bahkan konyolnya hingga pembakaran alat musik, serta dimeriahkan lagi oleh gelombang hijrah para musisi yang meninggalkan musik. Itulah hidup, ada kesenangan juga ada kekecewaan, yang penting jalani dan nikmati saja dengan tetap rendah hati. (BERSAMBUNG)