Selasa, 18 September 2018

Review album lanjutan tengah tahun



INSANITY – Broken World, Obscure Insane Recs, 2018

Legenda metal bertenaga dan menggerinda ini datang dari Bandung, dengan tamu-tamu musisi yang juga para legenda. Ada Eet Sjahranie (Edane), Marcell Siahaan (bintang pop, ex-Puppen), Man Jasad, John Paul Ivan (ex-Boomerang), Marcell Getah, Ramdhan Burgerkill, hingga Maya Hasan sang ratu Harpa Indonesia, dan banyak lagi. Band ini sejujurnya mengejutkan saya, tadinya saya hanya tahu dari thanks list di dalam rilisan band-band Bandung maupun Jakarta, terutama tertera pada lipatan sampul band-band grind, death dan black-metal lokal. Saya sempat tidak ngeh kalau ini adalah INSANITY entah dari mana, saya kira band baru dengan personil yang agak familiar di mata. Ternyata, dorrr... ! Benarlah, ini band metal lawas Bandung yang baru merilis albumnya setelah vakum lama dan akhirnya dirayakan launching-nya di Jakarta beberapa bulan yang lalu.

Unit Grindcore/death-thrash metal ini terasa seperti band-band Earache awal 90an, gaya vokal growl rendah ala Barney Greenway dan aransemen yang rapih serta groovy. Hasil rekaman yang sangat rapih untuk band ber-genre ekstrim metal dan cepat padat. Ya, terlalu rapih sehingga beberapa track terasa kurang sensasi di telinga. Alangkah indahnya jika ada bebunyian noise, feedback serta solo distorsi bass atau gitar yang ‘kotor’.

Beranggotakan Ricky Kansil, Aguy Kank, Andry Rudal dan Ade. Bass palyer mereka, Ade, tidak ikut rekaman, karena tertulis semua track bass diisi oleh musisi tamu/teman-teman Insanity, yaitu Ramdhan dan Marcell Wetik. Beberapa track juga memang diisi oleh tamu-tamu legenda tadi. Termasuk ada Mark Fields dari SIEGE (Legenda Boston hardcore/powerviolence-grindcore Amerika) yang mengisi narasi puisi di track 5 yang juga dijadikan nama album mereka, ‘Broken Worlds’. Track ini juga favorit saya, selain menggambarkan kesedihan, kegelapan dan tragedi, juga suara indah harpa Maya Hasan dipadu dengan liukan John Paul Ivan yang terkesan ‘epic’. Sungguh menjadi rilisan album grindcore paling ‘elegan’ di tahun 2018. Untuk kemasan mereka simple dan catchy, sekilas seperti kemasan vinyl 7” dengan plastic case-nya tapi diameternya tetap kurang dari 7 inci. Artwork mereka ambil potongan gambar-gambar perang dunia kedua, 1939. Sangat tipikal riisan album oldschool grindcore dan crust-punk. Sayang jadwal live mereka belum terpantau, hanya terinfo waktu ada launching party saja. Ayo cari dan undang mereka main di acara Grindfest di kotamu!



HANDS UPON SALVATION – Heresy, Diorama Recs/Forget The Pain/Hardcore Gateway/MMW Recs, 2018

Perjalanan panjang di medan pertempuran itu penuh dengan halang rintang maupun kemenangan tersendiri. Tidak banyak yang dapat bertahan dalam menghadapi halang rintang itu dan tidak mudahnya melewati fase-fase umur dan zaman, hingga berhasil memenangkan peperangan dari beberapa zaman yang telah terlewati. Setidaknya Hands Upon Salvation berhasil melewati itu semua, dan tetap dalam kondisi prima dalam merayakan kobaran api-api kemenangan tersebut di tahun ini. Album penuh ketiga dari veteran metallic hardcore dari Yogyakarta, setelah split dengan veteran epic hardcore dari Malang, Stolen Visions setahun lalu dan split dengan Lies! (Belanda) & Deconsecrate (Belgia) ini datang kembali dengan harapan yang ternyata lebih dari perkiraan saya. Kental dengan nuansa thrash metal, moshable part, H8000 edge-metal style & melodic death ala dataran Skandinavia, more energetic beat & killer riffs! Kali ini sound-nya lebih terasa solid, berat dan ketat.

Rasanya ini rilisan H.U.S yang benar melebihi ekspektasi saya, dapat saya katakan terbaik dari sebelumnya. Banyak kejutan di tiap track-nya, keseimbangan gitar kiri dan kanan secara stereo pada speaker cd player. sentuhan aransemen juga lebih beragam, disamping struktur lagu yang juga tambah kompleks dan kemasan fisiknya juga menarik, artistik dan bernuansa gelap. Dominasi warna senja pada kemasan cd dengan front-slipcase, dan hijau tua pada kemasan kaset.

Ada 1 cover song dari LIAR (Belgia) yang juga band favorit saya, dengan lagu 'Heavenshore' dengan re-aransemen yang agak lebih singkat. Inilah penyelamat skena metallic-hardcore yang ‘puritan’ dengan tetap keras di jalurnya, tetap beringas walau sudah 2 dekade melintasi skena hardcore lokal maupun internasional dengan berbagai riisannya di dalam maupun luar negeri, dan menjaga khas kesakralan energi skena hardcore 90-an dengan tetap bisa dinikmati di era milenial saat ini, dan menjadi referensi tersendiri pada skena metal kekinian. H.U.S patut merayakan eksistensinya pada dekade kedua ini dengan karya yang konsisten dan tetap berprogres dan bereksplorasi dengan segala referensi 'buas'nya dan penuangan karya mereka yang tetap membaja ini.