Hijrah, sebuah istilah yang relatif sebenarnya. Namun ‘arus utama’ menciptakan makna ‘hijrah’ adalah berubah lebih saleh dan agamis, dan memaknai aktivitas atau profesi sebelumnya itu tidak baik, kemudian sekarang sudah lebih baik dengan simbolik pada hal-hal yang terkesan alim.
Dilihat dari
terminologinya, dalam konteks sejarah, ‘Hijrah’ merupakan sebuah
perpindahan/migrasi dari Nabi Muhammad SAW dan pengikutnya dari Mekkah ke
Madinah pada tahun 622 Masehi dengan tujuan penegakkan nilai-nilai syariat
Islam sesuai konteks situasi dan kondisi pada masa itu. Jika disangkut-pautkan ke sebuah paham, hijrah diartikan perubahan dari
kondisi meninggalkan yang buruk dan menuju kebaikan secara agamis (dalam hal ini Islami).
Namun, istilah Hijrah
saat ini trendi dengan simboliknya saja. Hingga kritikus Islam Moderat merespon
terhadap fenomena hijrah ini adalah, Hijrah merupakan tujuan marketing saja
untuk mencapai target market kelompok tertentu yang harus memenuhi syarat-nya
dengan mewajibkan menjunjung nilai-nilai 'Islami', tetapi ditambah merunut ke
paham kelompok itu tadi tanpa memandang perubahan zaman, tetapi tidak mau melihat
situasi dan kondisi lingkungan dan budaya sekitar, hingga akhirnya timbul pakem
untuk larangan beraktivitas terhadap yang tidak sesuai paham kelompoknya dengan
mengklaim kelompoknya adalah sebuah representasi total dari ajaran Islam.
Termasuk harus anti aktivitas yang berasal dari budaya luar (barat) atau
penolakan terhadap nilai-nilai yang tidak berasal dari daerah tertentu, dalam
hal ini dari asal daerah turunnya agama Islam, hingga jaminan surga buat yang
mengikuti dan penghakiman atau vonis neraka untuk yang tidak mengikuti. Ujung-ujungnya
memang sebuah doktrin 'anti budaya selain kelompok berpaham tersebut'. Mungkin sebelum
terlalu jauh, mari kita saling renungkan saja.
Hijrah memang menyasar
banyak anak muda dan tokoh yang mempunyai massa dari kalangan muda. Hijrah
membawa hal positif dan yang tidak hijrah dengan cara mereka itu kadang dinilai menjadi sesuatu yang negatif atau buruk.
Tidak ada yang salah
sebenarnya dengan fenomena hijrah jika memang prosesnya adalah titik balik, perubahan
dari negatif menjadi positif. Namun seiring dengan berjalannya waktu menjadi
pergesekan, dimana kesan lebih baik yang ‘hijrah’ daripada yang belum ‘hijrah’
menjadi pertanyaan besar dan menjadi diskursus. Sejatinya, setiap manusia
memiliki makna hijrahnya sendiri. Tidak harus dengan simbol agama atau
kealiman. Namun makna ini seperti digiring sehingga menjadi patron bahwa; hijrah
adalah sebuah atau satu-satunya siklus dimana yang melakukan dengan syarat-syarat
penilaian dari paham kelompok tersebut menjadi pakem bahwa yang terlihat mendalami agama itu lebih
baik daripada yang tidak. Contohnya, yang belum rajin mengaji belum baik, yang masih
main musik belum baik, maka bertobatlah. Ditambah lagi dengan doktrin bahwa ‘musik
itu haram’ dari beberapa kalangan. Hingga gelombang ‘Musisi tobat’ cukup
menjamur. Nah, ini menjadi distorsi makna sebenarnya. Yakinkah ‘musisi-tobat’ itu
sudah lebih baik dari yang belum atau tidak tergabung dengan ‘musisi-tobat’?
Jika proses sebuah hal
negatif menjadi positif, gambarannya hingga pembangunan konsep suatu kultur
(diskursus) ini sebenarnya sudah ada sejak lama, yaitu sebuah Titik balik atau katakanlah
proses yang disebut 'Taubat', bukan 'Hijrah'. Tolak ukurnya cukup menjadi diri
sendiri, tidak perlu menghakimi orang lain yang tidak sejalan dengannya. Tidak
perlu mengklaim 'hijrah dari eks-musisi atau eks-profesi' apapun. Apalagi kadang
disejajarkan dengan 'eks-preman' atau 'eks-berandalan'. Karena profesi seseorang
tidak bisa dinilai pribadinya dari simbol aktivitasnya, terutama aktivitas yang
disebut Hijrah akhir-akhir ini dengan lekatnya simbol aktivitas mendalami agama,
hingga penghakiman yang tidak sejalan dengan aktivitas dakwah ala hijrah itu sendiri sering disebut salah, yang seringkali
juga harus diperangi.
Saya rasa tidak seperti
itu. Sangatlah keliru jika sebuah profesi dihakimi dengan dikatakan : karena aktivitasnya
dulu (sebelum hijrah) sering lalai melaksanakan kewajiban agamanya. Seperti
beberapa pengakuan 'eks-musisi' atau 'musisi tobat' yang kini ‘hijrah’ mengatakan
; "selama dia main musik sering melalaikan kewajiban dan melupakan perintah agama",
disamping juga dicekoki dalil-dalil yang memperkuat penghakiman mereka tanpa
ditelaah lebih dalam secara kontekstual dibanding hanya sebatas tekstual, yang
kadang disambung-sambungin atau dicocok-cocokin.
Sejatinya, yang menyebabkan lalai bukan karena musik atau profesinya, tetapi karena diri pribadinya yang malas atau memang lalai. Jangan salahkan musiknya, tapi pribadinya. Jangan terjebak gelombang arus utama atau penghakiman masyarakat yang merasa ‘normal’ yang kadang belum memahami lebih dalam. Hargailah sebuah profesi apapun selama tidak merugikan orang banyak dan selama tidak merusak tata-kelola ekosistem. Bedakanlah profesi secara bijak dengan cerminan pribadinya. Semua orang bisa melakukan hijrahnya sendiri-sendiri tanpa perlu penghakiman terhadap yang tidak sejalan. Cukup hubungan antara pribadi manusia itu secara vertikal langsung kepada Tuhan yang lebih tahu mana yang baik dan tidak. Hijrah-lah tanpa menghakimi yang lain. Jika memang niatnya menyadarkan atau berbagi ilmu akhirat, berbagilah dengan tulus dengan teguh, sabar, dan tegar seperti halnya pribadi Nabi dalam berdakwah, tanpa pamrih tanpa paksaan, berbaik sangka dan tidak menghakimi secara hitam-putih tanpa telaah.
Kadang orang baik tidak selalu memakai 'putih'. Kadang orang baik juga memakai 'hitam'. Hari gini masih lihat sampul untuk menilai seseorang? siapa yang bisa baca isi hati orang lain? Mengutip istilah teman saya dari Depok, "membaca isi hati gebetanmu aja susah, apalagi melihat kadar keimanan seseorang?" :) Tulisan ini tidak memaksakan kalau pembaca harus setuju dengan pendapat saya, hanya merefleksikan kondisi sekitar saja yang faktanya ada kelompok-kelompok tertentu yang memang menjadi 'hakim' setelah bergabung dengan kelompok hijrahnya.
(Bersambung)
Sejatinya, yang menyebabkan lalai bukan karena musik atau profesinya, tetapi karena diri pribadinya yang malas atau memang lalai. Jangan salahkan musiknya, tapi pribadinya. Jangan terjebak gelombang arus utama atau penghakiman masyarakat yang merasa ‘normal’ yang kadang belum memahami lebih dalam. Hargailah sebuah profesi apapun selama tidak merugikan orang banyak dan selama tidak merusak tata-kelola ekosistem. Bedakanlah profesi secara bijak dengan cerminan pribadinya. Semua orang bisa melakukan hijrahnya sendiri-sendiri tanpa perlu penghakiman terhadap yang tidak sejalan. Cukup hubungan antara pribadi manusia itu secara vertikal langsung kepada Tuhan yang lebih tahu mana yang baik dan tidak. Hijrah-lah tanpa menghakimi yang lain. Jika memang niatnya menyadarkan atau berbagi ilmu akhirat, berbagilah dengan tulus dengan teguh, sabar, dan tegar seperti halnya pribadi Nabi dalam berdakwah, tanpa pamrih tanpa paksaan, berbaik sangka dan tidak menghakimi secara hitam-putih tanpa telaah.
Kadang orang baik tidak selalu memakai 'putih'. Kadang orang baik juga memakai 'hitam'. Hari gini masih lihat sampul untuk menilai seseorang? siapa yang bisa baca isi hati orang lain? Mengutip istilah teman saya dari Depok, "membaca isi hati gebetanmu aja susah, apalagi melihat kadar keimanan seseorang?" :) Tulisan ini tidak memaksakan kalau pembaca harus setuju dengan pendapat saya, hanya merefleksikan kondisi sekitar saja yang faktanya ada kelompok-kelompok tertentu yang memang menjadi 'hakim' setelah bergabung dengan kelompok hijrahnya.
(Bersambung)